memberitakan aib yang terjadi atas diri isterinya itu, sehingga
tidak terdengar oleh orang ramai. Sedangkan kepada isterinya ia
berkata: “Dan (kamu, hai isteriku) mohon ampunlah atas dosamu
itu, kerana sesungguhnya kamu termasuk orang-orang yang berbuat
salah”.
“Celakalah kamu, Yusuf!” Kata isteri al-Aziz dengan kemarahan
yang memuncak, kerana Yusuf menolak kecantikan dan kebesarannya.
“Tidak! aku tak akan membiarkanmu, Yusuf. Bagaimana pun akan
kucari jalan lain yang dapat mempedayakanmu, hingga kamu
memenuhi apa yang kukehendaki…”
Hari-hari pun berlalu, dan al-Aziz yang kalah dalam urusan
itu berusaha memohon kerelaan isterinya menghadapi kenyataan itu,
sementara sang isteri menyanggahnya dengan dalih bahawa suaminya
telah menjatuhkan martabat dan kemuliaannya. Zulaikha tahu
benar bahawa setiap kali ia menampakkan kebenciannya kepada
suaminya, sang suami benar-benar berusaha mendekati dan
membujuknya kerana ia sangat mencintainya dan merasa lemah di
hadapan kecantikan wajahnya dan ketinggian peribadinya, yang
sebenarnya bersifat mulia.
Yusuf sendiri akhirnya berdiam sepanjang hari di dalam
kamarnya, kerana peristiwa aib itu terjadi di situ. Ia tidak keluar
dari
kamarnya kecuali ada suatu pekerjaan penting yang ditugaskan
oleh tuannya, al-Aziz.
Hari-hari yang berat dan keras selalu menghantui isteri
al-Aziz. Ia menanti datang suatu peluang untuk kembali melakukan tipu
dayanya atas diri Yusuf, sebab apa yang baru terjadi itu justeru
menambah rasa cinta dan keinginan untuk berhubungan dengan
Yusuf, meskipun secara terang-terang ia telah berdusta atas diri
Yusuf untuk menghilangkan keraguan suaminya terhadapnya.
Hari demi hari dirasakan oleh isteri al-Aziz dengan berat
dan terasa lambat berjalan. Di kota, beberapa peristiwa yang tak
terduga
telah terjadi. Wanita-wanita di Mesir, ketika itu, tidak
berkeinginan bicara lain kecuali tentang peristiwa aib antara isteri
al-Aziz dan
Yusuf. Yang sungguh menghairankan, bagaimana peristiwa itu dapat
tersebar di seluruh kota, padahal semua pihak di istana al-Aziz
berusaha merahsiakannya.
Dugaan sementara dialamatkan kepada pelayan laki-laki istana
dan sebahagian pelayan wanita yang masih ada hubungan keluarga
dengannya. Besar kemungkinan, merekalah yang membocorkan rahsia itu.
Langit ibu kota Mesir penuh dengan gema kisah sekitar
kejadian itu. Dalam setiap kelompok wanita, tidak ada masalah lain
yang
dibicarakan kecuali tentang isteri al-Aziz dan Yusuf, semuanya
dicurahkan tanpa segan silu.
Akhirnya, sampailah berita yang menyakitkan itu ke telinga
isteri al-Aziz. Dan tentu saja hal itu menimbulkan kemarahannya yang
luar
biasa. Akan tetapi, apa hendak dikata, ia tidak dapat berbuat
apa-apa kecuali menerima kenyataan itu dengan hati yang semakin pedih.
“Betapa perjalanan hidupku menjadi sepotong roti dalam mulut
wanita-wanita kota yang dipenuhi cemuhan dan ejekan.” Keluhnya
dalam hati, “padahal, di hari-hari kemarin, tak seorangpun dari
mereka berani menyebut namaku kecuali dengan segala penghormatan
dan kemuliaan”. Kemudian ketenangan mulai meresap di hati isteri
al-Aziz,
setelah jiwanya tergoncang kerana kemarahan. Mulailah ia berbicara
kepada dirinya sendiri:“ Aku wanita, dan mereka pun wanita.
Harus mereka terima hinaan sebagaimana hinaan yang mereka tujukan
kepadaku. Jika mereka memperolok-olokku dengan lidahnya, maka
sesungguhnya olok-olokku nanti lebih keras atas diri mereka…”
Maka, keluarlah dia dari kamarnya menuju beranda istananya yang
menghadap Sungai Nil.
Di tepian sungai itu, ia mulai berfikir, sementara angin
lembut menerpa pepohonan bunga yang mengelilingi istana, membuat
harum udara di sekitarnya. Isteri al-Aziz mulai merenung;
fikirannya berputar ke sana kemari, mengikuti alunan ombak sungai yang
tenang. Tak lama kemudian, wajahnya tampak sedikit berseri, kemudian
mulutnya tersenyum. Telah ditemukan satu cara untuk
membereskan masalah itu. Ya, mengapa ia tidak menghentikan
cemuhan wanita-wanita itu tentang dirinya dan Yusuf dalam suatu
pertemuan terbuka? Mengapa ia tidak memanggil wanita-wanita itu
untuk duduk bercakap-cakap seperti biasa ia lakukan sebelum ini,
lalu ia perintahkan Yusuf keluar (menampakkan diri di hadapan
mereka)? Nanti mereka akan sedar dan mengerti mengapa isteri al-Aziz
jatuh hati kepada anak angkatnya.
Kemudian dipanggilnya semua wanita itu ke istana untuk
bersukaria. Kepada mereka dipersembahkan berbagai macam
buah-buahan, dan masing-masing diberi sebilah pisau sebagai alat
pemotongnya. Akan dilihat oleh isteri Al-Aziz apa yang nanti bakal
terjadi ketika Yusuf muncul secara tiba-tiba di tengah-tengah
mereka.
Hairanlah kebanyakan wanita bangsawan terhadap panggilan
isteri al-Aziz itu. Mereka menyaksikan suasana yang lain dari
biasanya. Ruangan istana, ketika itu, dihiasi dengan penuh
kemegahan. Wanita-wanita yang hadir duduk di kerusi yang indah. Di
hadapan mereka masing-masing terdapat sepinggan buah segar dan
sebilah pisau pemotongnya.
Semua pandangan hadirin ditujukan kepada barang-barang yang
ada dalam ruangan istana itu. Semuanya diam membisu, tak ada
yang berani berbicara dengan jelas tentang apa yang tersimpan di
dada dan mulailah isteri Aziz membuka acara. Pembicaraan hanya
berkisar tentang buah dan masalah-masalah pesta ria itu, sama
sekali jauh dari masalah peristiwa dirinya dengan Yusuf. Ia berkata
bahawa segala yang disediakannya kali ini dimaksudkan sebagai
kejutan bagi wanita-wanita itu.
Di antara wanita-wanita yang hadir dalam jamuan itu, ada
salah seorang yang menyindir. Dengan cara yang cerdik, ia berkisah
kepada hadirin tentang seorang pemudi yang jatuh cinta, dan mati
dalam kesedihan kerana laki-laki yang meminangnya tewas di
medan perang melawan musuh-musuh negerinya. Tetapi isteri
al-Aziz, dengan lebih cerdik, mengalihkan pembicaraan ke
masalah-masalah lain.
Kemudian ia berkata kepada Yusuf, “Keluarlah (tampakkanlah
dirimu) kepada mereka.” Maka, keluarlah Yusuf dari tempatnya menuju
jamuan
wanita-wanita itu. Betapa terkejutnya wanita-wanita itu demi melihat
ketampanan Yusuf. Mereka sama tercengang dan kehairanan. Dan
tanpa disedari, mereka memotong jari-jari mereka sendiri dengan
pisau. Mereka mengira sedang memotong buah, padahal tidak
dirasakan darah mengalir dari tangan mereka. Lama-kelamaan mereka
baru ingat dan menyedari apa yang telah mereka lakukan, kemudian
berkata, “Maha Besar Allah. Ini bukanlah manusia. Ia tiada lain
dari malaikat yang mulia”.
Ketika itu wajah isteri al-Aziz menahan sedih dan duka.
Berubahlah wajah nan cantik itu menjadi marah. Ia berkata seraya
menunjuk kepada Yusuf: “Itulah orang yang menyebabkan aku di
cela kerana (tertarik) kepadanya, dan sesungguhnya aku telah
menginginkan dirinya, tetapi ia menolak. Dan (sekarang) jika dia
tidak mentaati apa yang kuperintahkan, nescaya ia akan
dipenjarakan dan dia akan menjadi orang yang hina”.
Yusuf mendengar apa yang dikatakan oleh isteri Aziz dengan
sikap yang tenang dan tabah, di hadapan wanita-wanita kota. Ia pun
mendengar keinginan setiap wanita yang hadir, sebagaimana
keinginan isteri al-Aziz terhadapnya. Sambil berlindung kepada Allah,
Yusuf berkata, “Tuhanku! Penjara lebih kusukai daripada memenuhi
ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Allah hindarkan aku dari
tipu daya mereka, tentulah aku tertarik kepada mereka. Dan
tentulah aku termasuk orang yang jahil”. Allah meneguhkan
hamba-hamba-Nya yang mukmin serta berlindung dan berpegang
dengan kebenaran yang diperintahkan oleh-Nya …” Maka, Tuhan
memperkenankan doa Yusuf, dan Dia menghindarkan Yusuf dari tipu
daya mereka. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Mendengar,
Yang Maha Mengetahui”.
Pulanglah wanita-wanita kota itu dengan tangan mereka
berlumuran darah. Mereka semua akhirnya sedar bahawa Zulaikha, isteri
al-Aziz, terhalang cintanya kepada Yusuf. Yusuf, kemudian
meninggalkan ruangan itu dan pergi ke kamarnya. Isteri al-Aziz tampak
duduk sambil berfikir. Ia memang menghendaki kehinaan atas
wanita-wanita yang menghina dirinya dengan Yusuf, dan hal itu telah
selesai ia lakukan. Menanglah ia dengan suatu kemenangan yang
dapat menyembuhkan sakit hatinya.
Akan tetapi, setelah ia lebih dalam berfikir, ia sedari
bahawa perasaan yang ditanggungnya selama ini adalah suatu sebab yang
berat baginya. Ia berbicara dengan dirinya sendiri: “Yusuf telah
menghindar dariku dua kali; sekali dikamarnya dan sekali di hadapan
wanita-wanita kota. Sesungguhnya wanita-wanita kota itu pun
mencintai Yusuf sebagaimana aku, tetapi semuanya tidak memperoleh
sesuatu darinya. Ancamanku kepadanya tidak ditakutinya.
Celakalah kamu meskipun aku mencintaimu.”
Pergilah isteri al-Aziz menemui suaminya. Al-Aziz kemudian
bertanya tentang jamuan yang diadakannya. Isterinya menjelaskan
bahawa jamuan itu hanya menambah keburukan baginya.
“Bagaimana hal itu boleh terjadi?” Tanya Al-Aziz.
“Jika Yusuf tidak disembunyikan dari seisi istana dan kota, dia
akan selalu berbicara tentang apa yang memburukkanku…” Jawabnya.
Maka, mendekatlah al-Aziz kepada isterinya seraya berkata.
“Bagaimana engkau boleh rela dengan apa yang memburukkanmu?”
Gementarlah badan wanita itu, dan kemudian berkata: “Kalau
begitu, masukkanlah Yusuf ke dalam penjara, sehingga semua orang
akan melupakannya”.
Al-Aziz menyetujui usul isterinya itu. Tak lama kemudian,
beberapa pengawal istana membawa Yusuf ke penjara. Tatkala Yusuf
keluar dari pintu istana, isteri al-Aziz berdiri di belakang
jendela kamarya sambil memandanginya. Ia merasa seolah-olah sebahagian
dari hatinya tercabut, meskipun dialah yang mendesak suaminya
agar memasukkan Yusuf ke dalam penjara.
Saban hari berlalu, dan kesedihan selalu mewarnai wajah
isteri al-Aziz, sementara suaminya hanya boleh melihat hal itu dengan
sikap diam dan tidak kuasa berbuat sesuatu. Wanita itu bertanya
kepada dirinya sendiri: “Salahkah aku tatkala menyuruh al-Aziz
memasukkan Yusuf ke dalam penjara? Ya, kuharamkan diriku melihat
Yusuf… “Sekali lagi ia berfikir dalam kegelisahannya: “Tetapi,
apakah aku bersalah dalam urusan itu?” Ia menyanggah dirinya
sendiri untuk lepas dari azab, seperti seorang dermawan yang haus,
tetapi tidak sanggup menjangkau air yang dipikul di bahunya sendiri.
Hari demi hari, bulan demi bulan, dan tahun demi tahun
berjalan tanpa sunyi dari cerita isteri al-Aziz dengan Yusuf. Pada
suatu
hari, datanglah utusan raja, memerintahkannya untuk datang
keistana. Isteri al-Aziz sangat hairan, sebab hal itu belum terjadi
sebelumnya. Ia bertanya kepada suaminya apa kira-kira yang
menyebabkan sang raja memanggilnya ke istana.
Al-Aziz menjawab, “Mungkin ada urusan yang berhubungan dengan
Yusuf.”
Mendengar nama Yusuf disebut lagi, lenyaplah segala dugaan.
Tetapi, benarkah raja hanya berkehendak untuk berbicara
dengannya tentang Yusuf?
Dengan penuh pertanyaan di benaknya, pergilah isteri al-Aziz
menuju istana raja. Di sana didapatinya wanita-wanita yang telah
memotong tangannya beberapa waktu yang lalu, semuanya menghadap
Raja Mesir. Sementara itu, sang raja memandangi wajah para
wanita itu satu persatu, kemudian mengajukan pertanyaan singkat
kepada wanita-wanita itu: “Bagaimana keadaanmu ketika kamu
menggoda Yusuf untuk menundukkan dirinya (kepadamu)?”
Mereka menjawab serentak: “Kami tiada mendapati suatu keburukan
padanya (Yusuf)”. Tiba-tiba, tanpa diminta oleh Raja, isteri al-Aziz
berbicara. Ia merasa telah tiba saatnya untuk berbicara terus terang
perihal itu, agar
hilang semua beban dosa kerana tindakan aniayanya terhadap
Yusuf. Di hadapan Raja, wanita-wanita kota, dan seluruh yang hadir di
situ, ia menerangkan: “Sekarang jelaslah kebenaran itu. Akulah
yang menggodanya untuk menundukkan dirinya (kepadaku), dan
sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang benar”.
(Yusuf berkata), “Yang demikian itu agar dia (al-Aziz)
mengetahui bahawa sesungguhnya aku tidak berkhianat kepadanya di
belakangnya, dan bahawasanya Allah tidak merelai tipudaya
orang-orang yang berkhianat. Dan aku tidak membebaskan diriku (dari
kesalahan), kerana sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada
kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku.
Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun, Maha Penyayang”.
Terjadi perbedaan pendapat tentang kehidupan perempuan itu
selanjutnya. Sebahagian orang berpendapat bahawa sejak itu isteri
al-Aziz hidup bersama kesedihan dan putus asa kerana ingatannya
kepada Yusuf. Sebahagian yang lain berpendapat bahawa isteri
al-Aziz itu akhirnya pindah ke suatu tempat yang jauh, dan tiada
khabar beritanya sama sekali. Yang jelas, kehidupan wanita itu
menjadi terganggu, kerana cinta kepada Yusuf.
Namun ada yang mengisahkan setelah peristiwa itu Zulaikha
bertaubat kepada Allah SWT. Ketika Yusuf diutus menjadi Rasul dan
menjadi penguasa menggantikan Al-Aziz, Nabi Yusuf berjumpa
dengan Zulaikha yang ketika itu keadaannya sudah tua. Akhirnya Allah
menjadikan Zulaikha muda remaja dan berkahwin dengan Nabi Yusuf.
Maka jadilah Zulaikha sebagai seorang wanita yang solehah yang
sentiasa beramal kepada Allah SWT.
(Kisah Zulaikha ini dapat di baca dalam Al-Quran surah Yusuf ayat
21-53)